JUDUL PRESENTASI:
IKHTILAF DALAM MENYELESAIKAN TA’ARUDH AL-ADILLAH
MAHASISWI:
KASRINA BINTI RULLY (131109186)
SISKA RAHMAYANTI (131008678)
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu kedah dalam pengeluaran atau penetapan hukum adalah melalui penyelesaian Ta’arudh al-Adillah. Kajian tentang Ta’arudh al-Adillah khusus dibahas ahli ushul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara dua dalil yang sama kuatnya dalam menunjukkan suatu hukum.
Penelitian dan penyelesaian ini sangat penting dilakukan oleh ahli ushul karena ketika disaat timbulnya masalah yang memerlukan pernyelesaian, dan dalil yang digunakan pula memiliki pertentangan zahirnya, maka dibimbangi akan munculnya kekeliruan dan kesalahfahaman mengenai dalil syara’ dan agama Islam itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI TA’ARUDH AL-ADILLAH
Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan al-adillah adalah jamak dari kata dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil.
Secara terminologi yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh pula adalah:
a. Imam al-Syaukani adalah salah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu.
b. Kamal ibn al-Human dan al-Tafhazani adalah pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya.
c. Ali Hasaballah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung suatu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. Yang dimaksud dengan satu derajat adalah antara ayat dengan ayat dan antara sunnah dengan sunnah.
1) Contoh ayat dengan ayat adalah ‘iddah wanita yang kematian suami dalam surat al-Baqarah ayat 234 yaitu 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak. Kemudian dalam surat at-Thalaq ayat 4 disebut bahwa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan di sini tidak dibedakan antara cerai hidup dengan cerai mati.
2) Contoh sunnah dengan sunnah adalah hadis Rasulullah: “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ab.” ( riba yang muncul dalam hutang piutang) ( HR. Bukhari dan Muslim ). Akibat riba al-fadl yaitu riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli atau transaksi lainnya tidaklah haram. Tetapi dalam hadis lain Rasul bersabda: “Janganlah kamu jual gandum dengan gandum, kecuali dalam jumlah yang sama.” ( HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal ).
B. IKHTILAF DALAM MENYELESAIKAN TA’ARUDH AL-ADILLAH
1. Menurut Hanafiyah:
a. Nasakh, membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang dating kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang petama. Oleh karena itu harus mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud dari ayat atau sunnah tersebut. Dalil yang dipakai adalaha dalil yang datang kemudian.
b. Tarjib, menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya. Ini dapat dilakukan ketika tidak diketahui mana dalil yang dulu dan mana dalil yang datang kemudian. Tarjib ini dapat dilakukan dari tiga sisi yaitu:
i. Petunjuk kandungan lafaz suatu nash. Contoh menguatkan nash yang mubkam ( hukumnya pasti ) dan tidak bisa dinasakbkan dari mufasar ( hukumnya pasti tetapi masih bisa dinasakhkan). ii. Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung haram dan dalil yang mengandung hukum boleh.
iii. Dari sisi keadilan periwayatan suatu hadis.
c. Al-Jam’u wa al-Taufiq, mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan, kemudian mengkompromikannya. Karena kaidah ushul mengatakan, “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
i. Contoh sunnah dengan sunnah adalah sabda Nabi: “Bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian yaitu kesaksian yang diberikan seseorang sebelum diminta menjadi saksi ( HR. Muslim). Kemudian sabda Nabi berikutnya: sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu itu orang-orang akaan memberikan kesaksiannya ( di depan hakim ) tanpa diminta, sedangkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya ( HR. Bukhari dan Muslim ). Dari kedua hadis ini terlihat bahwa hadis pertama berbicara tentang kasus yang terkait dengan hak Allah, sedangkan hadis kedua berkait dengan kasus yang menyangkut hak manusia.
ii. Contoh ayat dengan ayat adalah surat al-Maidah ayat 3: “diharamkan bagi kamu bangkai dan darah “. Di sini tidak dijelaskan darah yang bagaimana, sementara dalam ayat 145 surat al-An’am, Allah mengatakan “… kecuali ( yang diharamkan itu ) bangkai darah yang mengalir…” Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3, dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145.
2. Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zahiriyyah, cara penyelesaiannya adalah:
a.
Jam’u wa al-taufiq, alasannya kaedah ushul yang dikemukakan Hanafiyah, dan dapat dilakukan dengan tiga cara:
i. Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
ii. Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, maka mujtahid boleh memilihnya, seperti sabda Nabi: “kata “La”, dalam ushul fiqh dapat berarti tidak sah, tidak sempurna dan tidak utama.
iii. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, maka dari satu sisi ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat berikutnya.
b. Tarjih, yaitu menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan karena ada indikator yang mendukungnya. Metode ini digunakan para mujtahid manakala pengkompromian antara dalil yang bertentangan tidka dapat dilakukan. Upaya mentarjih ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu :
i. Mentarjih dari sisi sanad,
(khusus untuk menyelesaikan pertentangan dalil yang terjadi pada sunnah atau hadith)
ii. Mentarjih dari sisi matan,
iii. Mentarjih dari sisi hukum,
iv. Mentarjih dari sisi lain di luar nash.
(3 metode lagi digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi pada al-Quran, Sunnah dan Ijma’.
c. Naskh, yaitu membatalkan hukum syara’ yang datang terdahulu dengan hukum syara’ yang sama datang kemudian. Metode ini digunakan ketika kedua metode sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dua dalil. Metode ini dapat digunakan apabila kedua dalil yang bertentangan dapat diketahui mana dalil yang lebih dahulu datang dan mana dalil yang datang kemudian. Contohnya, hadits Nabi s.a.w.:
“Aku pernah melarang kamu menyimpa daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari, maka sekarang makan dan simpanlah.” (HR. Ibn Majah)
Hadits tersebut menunjukkan bahawa larangan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang pertama datang dan kebolehan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang datang kemudian.
d. Tasaqut al-Dalilain, yaitu mengabaikan kedua dalil yang bertentangan dan beralih mencari dalil lain, meskipun kualitasnya lebih rendah. Kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah, menggunakan metode tasaqut al-Dalilain apabila ketiga cara sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan kedua dalil tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Daripada perbahasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahawa terdapat dua pendapat utama yang digunakan oleh para mujtahid dalam menyelesaikan dan menghilangkan pertentangan yang berlaku antara dua dalil secara zahir (Ta’arudh al-Adillah) yaitu menurut metode Hanafiyyah dan Syafi’iyyah.
Metode Hanafiyyah mengemukakan tiga langkah dalam menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah, yaitu secara naskh, tarjih dan al-Jamu wa al-Taufiq. Metode Syafi’iyyah pula mengemukakan empat langkah yaitu al-Jamu wa al-Taufiq, tarjih, naskh dan tasaqut al-Dalilain. Metode Syafi’iyyah ini juga digunakan oleh ulama Malikiyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim.
H. Nazar Bakry. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 253. Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr, Cet.ke-2
Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1,1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami.Bandung :Al-Ma’rif
No comments:
Post a Comment